"Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un."
Sungguh, kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.
(QS. Al-Baqarah: 156)
Sebelas tahun telah berlalu sejak langit rumah kehilangan mentarinya. Abi, sosok yang dulu kulihat sebagai benteng terkuat, kini hanya tinggal dalam doa dan kenangan yang enggan pudar.
Aku, anak perempuan pertamamu, yang waktu itu masih belajar mengeja dunia. Kini tumbuh bersama kehilangan yang diam-diam menjelma teman paling setia.
Tak mudah, Abi.
Menjadi anak perempuan pertama di tengah sunyi yang tak pernah benar-benar usai.
Aku mencoba kuat, karena kupikir itulah warisanmu yang paling luhur: keteguhan.
Tapi terkadang, di malam-malam yang tenang, aku hanya ingin menjadi lemah. Menangis tanpa alasan. Meratap tanpa dituntut harus dewasa.
Aku masih ingat betul, Abi. Pagi itu langit redup, udara diam, dan waktu seperti berhenti. Orang-orang datang membawa kabar, sementara aku hanya bisa duduk terdiam, menyaksikan dunia kecilku perlahan runtuh tanpa kata perpisahan.
Orang bilang waktu menyembuhkan segalanya. Tapi siapa pun yang pernah ditinggalkan oleh seseorang sepertimu tahu:
waktu hanya mengajarkan cara menyembunyikan luka dengan senyum, bukan menghapusnya. Luka itu tetap ada. Tapi aku belajar menari bersamanya.
Abi,
Seandainya kau tahu betapa seringnya aku mencari bayangmu dalam setiap laki-laki yang kutemui. Bukan karena aku belum merelakan, tapi karena kehadiranmu adalah definisi cinta pertama yang tak pernah bisa digantikan.
Dulu waktuku kecil, kau sering menggendongku disela waktu kerja,
walau tubuhmu letih dan matamu menyimpan kantuk. Aku merindukan pelukmu, dekapan yang dulu jadi tempat paling aman.
Kini tak ada lagi peluk itu, tapi aku percaya: doamu masih menjagaku dari langit.
"Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira."
Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.
(QS. Al-Isra: 24)
Aku sering merasa sendiri, bukan karena tak ada orang di sekitarku, tapi karena tak ada satu pun yang mengisi ruang kosong bernama "Abi".
Aku kuat, aku bisa, kata orang.
Tapi mereka tak tahu, aku berdiri di atas puing-puing hati yang pernah hancur sebelas tahun lalu.
Kini, aku tumbuh menjadi perempuan yang belajar menyayangi diri, yang belajar menapaki dunia meski tak lagi digandeng tanganmu.
Aku membawa namamu dalam setiap langkah, dalam setiap doa, dalam setiap cita yang ingin kucapai. Aku ingin menjadi anak yang kelak bisa mempertemukan kita kembali di surga, bukan sekadar dalam mimpi.
Abi,
Terima kasih telah mencintaiku dengan seluruh hidupmu. Kini biarlah aku terus hidup dan mencintai dengan warisan kasih yang kau tanam dulu.
Meski rindu ini tak pernah usai,
aku percaya, pertemuan nanti akan jauh lebih indah,di tempat yang tak mengenal air mata,di sisi Allah yang Maha Menghimpun segala yang pernah terpisah.
Komentar
Posting Komentar