"Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un." Sungguh, kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali. (QS. Al-Baqarah: 156) Sebelas tahun telah berlalu sejak langit rumah kehilangan mentarinya. Abi, sosok yang dulu kulihat sebagai benteng terkuat, kini hanya tinggal dalam doa dan kenangan yang enggan pudar. Aku, anak perempuan pertamamu, yang waktu itu masih belajar mengeja dunia. Kini tumbuh bersama kehilangan yang diam-diam menjelma teman paling setia. Tak mudah, Abi. Menjadi anak perempuan pertama di tengah sunyi yang tak pernah benar-benar usai. Aku mencoba kuat, karena kupikir itulah warisanmu yang paling luhur: keteguhan. Tapi terkadang, di malam-malam yang tenang, aku hanya ingin menjadi lemah. Menangis tanpa alasan. Meratap tanpa dituntut harus dewasa. Aku masih ingat betul, Abi. Pagi itu langit redup, udara diam, dan waktu seperti berhenti. Orang-orang datang membawa kabar, sementara aku hanya bisa duduk terdiam, menyaksikan dunia kecilku perlahan ru...
Kadang hati perempuan diuji bukan dengan penderitaan, tapi dengan perhatian. Bukan dengan luka, tapi dengan kebaikan yang datang dari arah yang tak disangka. Dia tak pernah mengucap apa-apa tentang perasaan. Tapi tutur katanya lembut, sikapnya ringan tangan, dan kehadirannya sering muncul di sela lelah dan tanggung jawab. Aku tak tahu, apakah dia memang sedang memberi isyarat... atau sekadar sedang menjadi dirinya - orang baik yang kebetulan sering kutemui. Aku pun terdiam dalam pertanyaan: Apakah aku sedang tertarik... atau hanya sedang menikmati kebaikan? Apakah dia memang menunjukkan rasa... atau hanya sedang mengamalkan adab dan ukhuwah? Hati kecilku tahu, bahwa tidak semua yang terlihat seperti benih, harus disiram harap. Maka aku mundur setapak, bukan karena membenci, tapi untuk menjaga. Sebab rasa yang belum jelas arahnya, bisa menyesatkan langkah. Kini aku memilih diam. Bukan karena tak ingin membalas, tapi karena ingin memastikan: Apakah ini tentang dia, atau tentang h...